Goenawan Mohamed, orang penting majalah TEMPO di Jakarta, kawan akrab Allahyarham HB Jassin.
Selamatkan Warisan H.B. Jassin
Rabu, 23 Maret 2011 | 01:22 WIB
Pemerintah Provinsi Jakarta rupanya tak terlalu peduli terhadap kebudayaan dan sastra. Buktinya, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin--penyimpan karya sastra terlengkap di Indonesia--dibiarkan nyaris mati. Bantuan dana pengelolaan untuk lembaga ini terus-terusan dipangkas tanpa alasan yang jelas.
Pusat sastra itu masih menerima dana pengelolaan Rp 500 juta pada 2003. Tapi makin lama bantuan ini makin menyusut. Tahun lalu jumlahnya Rp 165 juta, dan tahun ini lebih kecil lagi, tinggal Rp 50 juta. Pengelola dokumentasi warisan H.B. Jassin, kritikus sastra ternama, itu pun menjerit. Duit tersebut tidak cukup untuk mengelola dan merawat lebih 50 ribu karya sastra yang tersimpan di sana.
Dana untuk pusat sastra itu dimasukkan dalam pos hibah, bantuan sosial, dan bantuan untuk organisasi kemasyarakatan. Kendati meneken Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.215/2011 tentang Penetapan Belanja Hibah dan Bantuan Sosial, Gubernur Fauzi Bowo mengaku khilaf. Ia tidak memeriksa perincian alokasi hibah dan bantuan itu saat menandatanganinya.
Boleh saja Pak Gubernur membela diri. Toh, hanya ada perbedaan tipis antara khilaf dan kurang peduli. Jika ia benar-benar memperhatikan pengembangan kebudayaan di wilayahnya, mestinya keteledoran seperti itu tidak terjadi.
Lagi pula, bukan hanya soal merawat pusat sastra, dalam urusan lain seperti pengelolaan museum pun Pemerintah Jakarta kurang peduli. Dengan memiliki 64 museum, Jakarta semestinya bisa dijuluki sebagai Kota Museum. Tapi, masalahnya, keadaan sebagian besar museum itu memprihatinkan. Wisata ke museum nyaris punah karena hampir semuanya dibiarkan suram, gelap, dan tak terawat.
Urusan kebudayaan di Ibu Kota justru semakin telantar setelah bidang ini digabung dengan pariwisata mengikuti pembidangan di kabinet. Anggaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta, yang tahun ini direncanakan Rp 197,4 miliar, sebagian besar digunakan untuk pengembangan wisata non-budaya. Mungkin pembangunan Pusat Kebudayaan Betawi di Jakarta Timur, yang menelan dana Rp 36 miliar, satu-satunya alokasi yang lumayan untuk urusan budaya.
Pengembangan sastra, termasuk pengelolaan pusat sastra, tidaklah menjadi urusan Dinas Kebudayaan. Buktinya, anggaran untuk Pusat Sastra H.B. Jassin diambilkan dari pos hibah dan bantuan. Ini menunjukkan tidak pedulinya Provinsi Jakarta terhadap urusan yang sebetulnya amat penting.
Kalaupun lolos dari perhatian Dinas Kebudayaan, seharusnya dana untuk pusat sastra bisa diambilkan dari dana pendidikan. Bukankah pusat sastra itu bisa pula digolongkan sebagai perpustakaan? Undang-Undang Nomor 43/2007 tentang Perpustakaan jelas mewajibkan pemerintah daerah mendorong pengembangan perpustakaan di daerahnya.
Gubernur Fauzi seharusnya menengok kota-kota lain di dunia dalam mengembangkan pusat-pusat budaya. Tak hanya membantu mengembangkan budaya bangsa, perhatian yang besar terhadap terhadap pusat sastra, kesenian, juga museum, akan membuat kota yang dipimpinnya menjadi lebih bernyawa. Boleh jadi bukan sekadar kekhilafan, nasib lembaga HB Jassin justru semakin menggambarkan tidak jelasnya arah pengembangan Jakarta.(Dipetik dari majalah
Tempo, 23 Mac 2011)
Komen:
Kalau benarlah seperti yang dilaporkn majalah Tempo 23 Mac 2011 yang lalu tentang keadaan Pusat Dokumentasi H.B. Jassin di Jakarta itu, dunia sastera-budaya di Nusntara mempunyai masa depan yang kelam. Mungkin pihak pengurusan pusat dokumentasi HB Jassin boleh berbuat sesuatu memperbaiki keadaan. Bukankah antara Indonesia dan Malaysia telah terjalin hubungan kerjasama dua hala dalam dunia sastera dan budaya?
Kita dengar ada kerjasama dalam MABBIM (bahasa) dan MASTERA (sastera), malah dalam FOKEPS (penerbitan). Di Malaysia, Dewan Bahasa dn Pustaka (DBP) memainkan peranan penting mengukuhkan hubungan kerjasama dalam tiga bidang itu. Sudah bertahun diusahakan. Telah banyak manfaat diterima oleh kedua-dua negara, Malaysia dan Indonesia. Malah khabarnya program sayembara karya dipertandingkan saban tahun.
Kenapa tidak ditingkatkan hubungan ini dengan mempertimbangkan masalah dokumentasi seperti yang sedang menghimpit puat dokumentasi HB Jassin? Jangan fikirkan soal untung rugi atau siapa yang harus menyelenggarakannya. Fikirkan nilai Pusat Dokumentasi itu kepada tamadun dua bangsa yang serumpun.
Menteri Komunikasi, Kebudayaan, Kesenian dan Warisan, Dato' Seri Dr. Rais Yatim baru sahaja mencadangkan kerjasama hendak menerbitkan filem dokumentari bagi kedua-dua negara yang boleh ditayangkan di Indonesia dan Malaysia. Tujuannya mengukuhkan hubungan. Kenapa tidak ambil kesempatan ini?DBP di bawah Kementerian Pelajaran. Menterinya, Tan Sri Muhyiddin Yassin yang juga Timbalan Perdana Menteri. Sudah tentu beliu mempunyai ummph dari sudut keazaman politik. Klau di Indonesia istilah politiknya bobot politiknya besar.Bila dua menteri bersatu dan berpadu menyelamatkan tamadun budaya dua bangsa serumpun bukankah itu hebat namanya?
Pusat Dokumentasi HB Jassin dan apa saja dokumentasi budaya seumpama itu, terutama yang membabitkan harta warisan intelek mesti diselamatkan. Tak kiralah sama ada ia berada di Indonesia atau di Malaysia. Jangan dok pandai mencadang sahaja tapi tahap pelaksanaannya dibiarkan berkunci dalm laci menteri.
DBP apa cerita? MABBIM apa cerita? MASTERA apa cerita? FOKEPS apa cerita? Filem dokumentari cerita?
No comments:
Post a Comment