Saturday, 26 March 2011

PERIHAL WARISAN HB JASSIN, MABBIM, MASTERA,, FOKEPS DAN "YANG SEWAKTU DENGANNYA"


Goenawan Mohamed, orang penting majalah TEMPO di Jakarta, kawan akrab Allahyarham HB Jassin.

Selamatkan Warisan H.B. Jassin
Rabu, 23 Maret 2011 | 01:22 WIB
Pemerintah Provinsi Jakarta rupanya tak terlalu peduli terhadap kebudayaan dan sastra. Buktinya, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin--penyimpan karya sastra terlengkap di Indonesia--dibiarkan nyaris mati. Bantuan dana pengelolaan untuk lembaga ini terus-terusan dipangkas tanpa alasan yang jelas.

Pusat sastra itu masih menerima dana pengelolaan Rp 500 juta pada 2003. Tapi makin lama bantuan ini makin menyusut. Tahun lalu jumlahnya Rp 165 juta, dan tahun ini lebih kecil lagi, tinggal Rp 50 juta. Pengelola dokumentasi warisan H.B. Jassin, kritikus sastra ternama, itu pun menjerit. Duit tersebut tidak cukup untuk mengelola dan merawat lebih 50 ribu karya sastra yang tersimpan di sana.
Dana untuk pusat sastra itu dimasukkan dalam pos hibah, bantuan sosial, dan bantuan untuk organisasi kemasyarakatan. Kendati meneken Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.215/2011 tentang Penetapan Belanja Hibah dan Bantuan Sosial, Gubernur Fauzi Bowo mengaku khilaf. Ia tidak memeriksa perincian alokasi hibah dan bantuan itu saat menandatanganinya.

Boleh saja Pak Gubernur membela diri. Toh, hanya ada perbedaan tipis antara khilaf dan kurang peduli. Jika ia benar-benar memperhatikan pengembangan kebudayaan di wilayahnya, mestinya keteledoran seperti itu tidak terjadi.
Lagi pula, bukan hanya soal merawat pusat sastra, dalam urusan lain seperti pengelolaan museum pun Pemerintah Jakarta kurang peduli. Dengan memiliki 64 museum, Jakarta semestinya bisa dijuluki sebagai Kota Museum. Tapi, masalahnya, keadaan sebagian besar museum itu memprihatinkan. Wisata ke museum nyaris punah karena hampir semuanya dibiarkan suram, gelap, dan tak terawat.

Urusan kebudayaan di Ibu Kota justru semakin telantar setelah bidang ini digabung dengan pariwisata mengikuti pembidangan di kabinet. Anggaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta, yang tahun ini direncanakan Rp 197,4 miliar, sebagian besar digunakan untuk pengembangan wisata non-budaya. Mungkin pembangunan Pusat Kebudayaan Betawi di Jakarta Timur, yang menelan dana Rp 36 miliar, satu-satunya alokasi yang lumayan untuk urusan budaya.

Pengembangan sastra, termasuk pengelolaan pusat sastra, tidaklah menjadi urusan Dinas Kebudayaan. Buktinya, anggaran untuk Pusat Sastra H.B. Jassin diambilkan dari pos hibah dan bantuan. Ini menunjukkan tidak pedulinya Provinsi Jakarta terhadap urusan yang sebetulnya amat penting.

Kalaupun lolos dari perhatian Dinas Kebudayaan, seharusnya dana untuk pusat sastra bisa diambilkan dari dana pendidikan. Bukankah pusat sastra itu bisa pula digolongkan sebagai perpustakaan? Undang-Undang Nomor 43/2007 tentang Perpustakaan jelas mewajibkan pemerintah daerah mendorong pengembangan perpustakaan di daerahnya.

Gubernur Fauzi seharusnya menengok kota-kota lain di dunia dalam mengembangkan pusat-pusat budaya. Tak hanya membantu mengembangkan budaya bangsa, perhatian yang besar terhadap terhadap pusat sastra, kesenian, juga museum, akan membuat kota yang dipimpinnya menjadi lebih bernyawa. Boleh jadi bukan sekadar kekhilafan, nasib lembaga HB Jassin justru semakin menggambarkan tidak jelasnya arah pengembangan Jakarta.(Dipetik dari majalah Tempo, 23 Mac 2011)

Komen:
Kalau benarlah seperti yang dilaporkn majalah Tempo 23 Mac 2011 yang lalu tentang keadaan Pusat Dokumentasi H.B. Jassin di Jakarta itu, dunia sastera-budaya di Nusntara mempunyai masa depan yang kelam. Mungkin pihak pengurusan pusat dokumentasi HB Jassin boleh berbuat sesuatu memperbaiki keadaan. Bukankah antara Indonesia dan Malaysia telah terjalin hubungan kerjasama dua hala dalam dunia sastera dan budaya?

Kita dengar ada kerjasama dalam MABBIM (bahasa) dan MASTERA (sastera), malah dalam FOKEPS (penerbitan). Di Malaysia, Dewan Bahasa dn Pustaka (DBP) memainkan peranan penting mengukuhkan hubungan kerjasama dalam tiga bidang itu. Sudah bertahun diusahakan. Telah banyak manfaat diterima oleh kedua-dua negara, Malaysia dan Indonesia. Malah khabarnya program sayembara karya dipertandingkan saban tahun.

Kenapa tidak ditingkatkan hubungan ini dengan mempertimbangkan masalah dokumentasi seperti yang sedang menghimpit puat dokumentasi HB Jassin? Jangan fikirkan soal untung rugi atau siapa yang harus menyelenggarakannya. Fikirkan nilai Pusat Dokumentasi itu kepada tamadun dua bangsa yang serumpun.

Menteri Komunikasi, Kebudayaan, Kesenian dan Warisan, Dato' Seri Dr. Rais Yatim baru sahaja mencadangkan kerjasama hendak menerbitkan filem dokumentari bagi kedua-dua negara yang boleh ditayangkan di Indonesia dan Malaysia. Tujuannya mengukuhkan hubungan. Kenapa tidak ambil kesempatan ini?DBP di bawah Kementerian Pelajaran. Menterinya, Tan Sri Muhyiddin Yassin yang juga Timbalan Perdana Menteri. Sudah tentu beliu mempunyai ummph dari sudut keazaman politik. Klau di Indonesia istilah politiknya bobot politiknya besar.Bila dua menteri bersatu dan berpadu menyelamatkan tamadun budaya dua bangsa serumpun bukankah itu hebat namanya?

Pusat Dokumentasi HB Jassin dan apa saja dokumentasi budaya seumpama itu, terutama yang membabitkan harta warisan intelek mesti diselamatkan. Tak kiralah sama ada ia berada di Indonesia atau di Malaysia. Jangan dok pandai mencadang sahaja tapi tahap pelaksanaannya dibiarkan berkunci dalm laci menteri.

DBP apa cerita? MABBIM apa cerita? MASTERA apa cerita? FOKEPS apa cerita? Filem dokumentari cerita?

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

MUST-READ BLOGS

REFLECTIONS

SO THEY SAY...

"A.F.Yassin dalam cerpenya "Dendam" berjaya menghidupkan ceritanya dalam bahasa yang berjiwa; sesuai dengan pertentangan-pertentangan yang dialami oleh Salim atau oleh Yanti sendiri. "Plotnya bersifat sorot pergi sebagai satu gaya untuk mengembangkan kisah pada satu detik tetapi menghimbau kisah itu kepada kisah lampau dan juga kisah akan datang. Latarnya di Indonesia. Cerpen ini hidup kerana tidak dibiar berkisar di luar persoalan. Olahan cerpen bepusar keseluruhannya pada watak Yanti..." (Dato' Shahnon Ahmad, Mingguan Malaysia, 14 November 1976.)



" The former editor of a publishing house, A.F.Yassin, recently put out Sembang Sastera: Bersama Orang Persuratan (Fajar Bakti, 1998,310 pages), in which he talks to 64 Malay writers and literary activists of varying stature, who muse on their lives and what they have been up to. Chatty. Frank, nostalgic, irreverent, these conversations are light, in response to A.F.Yassin’s equally casual probing. His target is largely a small and shrinking group of people aged around 60 and above, loyal supporters of the Jawi-scripted Utusan Zaman, in which most of these Sembang-Sembang first appeared.



"Now that these Sembang-Sembang have been romanised, and packed in a handsome hardcover book, more readers , especially literary researchers, local and foreign, can be expected to benefit from them. Of course, the information ranges from the revealing to the trivial, but the book is pertinent as it provides insight on what went on in the world of Malay letters.



"…Sembang Satera is invaluable, especially to students of contemporary Malay literature, because it provides a cauldron of tidbits, with which to spice up the perennially long-overdue assignment.” - (Zakaria Ali, "Notes on Local Literature, fortnightly with Zakaria Ali, New Straits Times, 27 January, 1999."



"Yassin merupakan penulis yang berilmu dalam dua bidang dan seterusnya melibatkan diri dalam tiga dimensi. Bidang-bidang keilmuan dan keahliannya ialah komunikasi dan sastera, sementara kegiatannya dalam bidang penulisan kreatif dan deskriptif dan serentak dengan itu, turut kreatif dalam penghasilan dan penerbitan buku sesuai dengan profesion terkininya." (Asri Affandi, Mingguan Malaysia, 27 Disember 1987.)



"A.F.Yassin dalam bukunya Etika dan Wartawan berpendapat, pemberitaan akhbar di negara ini boleh dikatakan hanya berpandu kepada etika sejagat dan norma serta kebiasaan hidup masyarakat majmuk. Ketiadaan kod etika kewartawanan juga seperti yang ditekan oleh A. Samad Said telah menjadikan akhbar mengamalkan dasar swaying with the wind, bukan merupakan agent of change, serta cenderung menyuarakan dasar dan strategi pihak penerbit suratkabar itu sendiri." (Harakah, 31 Mei 1993.)

Tidak tahu kenapa dia meninggalkan lapangan guru dalam tahun 1962 kemudian sanggup pula menjadi seorang Juruteknik di sebuah kilang tekstil di Johor Bahru. Apakah dia memikirkan kurangnya anak Bumiputra berminat dalam lapangan teknikal atau kerana mula nampak bintangnya lebih mengerdip jika dia meninggalkan lapangan guru?

Yang ternyata sewaktu berada di Textile Corporation of Malaya Berhad Johor Bahru, dia telah dapat mengikuti latihan teknikal di Nagoya, Jepun selama enam bulan dalam tahun 1969. Di Jepun dia baru dapat melihat perbezaan zikap dan tingkah laku manusia pekerja Jepun dengan bangsanya sendiri. Setelah menimba pengalaman di Jepun, tercetus pula keinginannya untuk menulis rencana bersirinya di Utusan Malaysia, Utusan Zaman dan Mingguan Malaysia. Semuanya menceritakan pengalamannya di Jepun.

Kemampuan menulis telah meransangnya menapak ke bidang kerja yang lain. Dia menjadi Penyunting Berita Harian dalam tahun 1971. Semasa di New Straits Times Press (M) Bhd., dia banyak pula menghasilkan cerpen. Dia terus melanjutkan penulisan fiksyen apabila dilantik menjadi Penolong Editor dan kemudiannya meningkat sebagai Editor majalah Dewan Masyarakat.

Melihat kemampuannya menulis artikel dan cerpen di tengah-tengah kesibukannya sebagi seorang Editor, jelaslah kepada kita bahawa seorang editor yang sibuk tidak semestinya tidak boleh menulis. Pokoknya dia tidak mengenal erti kelelahan dan kesibukan bila dia diransang untuk menulis. ("Karyawan Bulan Ini", Dewan Sastera, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Mac 1983).