Wednesday 28 January 2009

A MAKASAR MAN: HIS WORKS LIVE ON


Arenawati, the popular name of Muhammad Dahlan Abdul Biang from the Bugis land.

Published: Sunday January 25, 2009 MYT 8:41:00 PM
National laureate Arena Wati dies


KUALA LUMPUR: National laureate Muhammad Dahlan Abdul Baing, 84, better known as Arena Wati, died at the Universiti Kebangsaan Malaysia Hospital (HUKM) in Cheras at 1.40am Sunday, from lung cancer.

He was being treated at HUKM since Sept 20, and his wife Halimah Sulong and two of his children, Ratna Siti Akbari and Hasanuddin, were at his bedside when he breathed his last.

His remains were brought to the Federal Territory Mosque in Jalan Duta at noon for the funeral prayer before burial at 3pm at the Bukit Kiara Muslim cemetery.

Besides his wife, and Ratna and Hasanuddin, Arena Wati also leaves behind four other children, Rahmah Wati, Hirianty, Ilhamuddin and Kamaluddin Rostor.

Rahmah Wati, his eldest, said while warded, her late father was still writing his trilogy titled BaraBaraya.

“The trilogy -- which revolves around the struggles of the Malays in the archipelago -- is to be published this year,” she said.

Meanwhile, another national laureate, Tan Sri A. Samad Said, regards Arena Wati’s death as a big loss to the Malay literary world.

“He was very prolific as he was much inspired by his life’s experiences,” said Samad of his comrade.

Arena Wati, was born on July 30, 1925 in Kalumpang Kabupatan, Jeneponto, Makasar, Indonesia and went to a Dutch school in Makasar before it was closed when the war broke out.

He had used other pen names such as Duta Muda and Patria. He won several awards like the SEA Write Award in 1985 and was made a national laureate in 1988.

Arena Wati also entered the journalistic world in 1954 and was once an editor at Pustaka Antara.

Among his many works were Eno (1985), Syair Pangeran Syarif (1989), Syair Pangeran Syarif Hasyim Al-Qudsi (1989), Syair Perang Cina Di Monterado (1989), Burung Badai (1990), Turina (1991) and Citra (1991). -- Bernama

Comment:
The late Arenawati died neither rich nor poor. Yet, he was a clear pick to be named the national laureate in 1988. Respected by many Arenawati was a former editor with Pustaka Antara, when I first met him early 1970s. He was with the late Ruhi Hayat (Ahmad Boestamam) and Aziz Antara, probably discussing the development of Malay literature. Aziz Antara owned the publishing giant.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

MUST-READ BLOGS

REFLECTIONS

SO THEY SAY...

"A.F.Yassin dalam cerpenya "Dendam" berjaya menghidupkan ceritanya dalam bahasa yang berjiwa; sesuai dengan pertentangan-pertentangan yang dialami oleh Salim atau oleh Yanti sendiri. "Plotnya bersifat sorot pergi sebagai satu gaya untuk mengembangkan kisah pada satu detik tetapi menghimbau kisah itu kepada kisah lampau dan juga kisah akan datang. Latarnya di Indonesia. Cerpen ini hidup kerana tidak dibiar berkisar di luar persoalan. Olahan cerpen bepusar keseluruhannya pada watak Yanti..." (Dato' Shahnon Ahmad, Mingguan Malaysia, 14 November 1976.)



" The former editor of a publishing house, A.F.Yassin, recently put out Sembang Sastera: Bersama Orang Persuratan (Fajar Bakti, 1998,310 pages), in which he talks to 64 Malay writers and literary activists of varying stature, who muse on their lives and what they have been up to. Chatty. Frank, nostalgic, irreverent, these conversations are light, in response to A.F.Yassin’s equally casual probing. His target is largely a small and shrinking group of people aged around 60 and above, loyal supporters of the Jawi-scripted Utusan Zaman, in which most of these Sembang-Sembang first appeared.



"Now that these Sembang-Sembang have been romanised, and packed in a handsome hardcover book, more readers , especially literary researchers, local and foreign, can be expected to benefit from them. Of course, the information ranges from the revealing to the trivial, but the book is pertinent as it provides insight on what went on in the world of Malay letters.



"…Sembang Satera is invaluable, especially to students of contemporary Malay literature, because it provides a cauldron of tidbits, with which to spice up the perennially long-overdue assignment.” - (Zakaria Ali, "Notes on Local Literature, fortnightly with Zakaria Ali, New Straits Times, 27 January, 1999."



"Yassin merupakan penulis yang berilmu dalam dua bidang dan seterusnya melibatkan diri dalam tiga dimensi. Bidang-bidang keilmuan dan keahliannya ialah komunikasi dan sastera, sementara kegiatannya dalam bidang penulisan kreatif dan deskriptif dan serentak dengan itu, turut kreatif dalam penghasilan dan penerbitan buku sesuai dengan profesion terkininya." (Asri Affandi, Mingguan Malaysia, 27 Disember 1987.)



"A.F.Yassin dalam bukunya Etika dan Wartawan berpendapat, pemberitaan akhbar di negara ini boleh dikatakan hanya berpandu kepada etika sejagat dan norma serta kebiasaan hidup masyarakat majmuk. Ketiadaan kod etika kewartawanan juga seperti yang ditekan oleh A. Samad Said telah menjadikan akhbar mengamalkan dasar swaying with the wind, bukan merupakan agent of change, serta cenderung menyuarakan dasar dan strategi pihak penerbit suratkabar itu sendiri." (Harakah, 31 Mei 1993.)

Tidak tahu kenapa dia meninggalkan lapangan guru dalam tahun 1962 kemudian sanggup pula menjadi seorang Juruteknik di sebuah kilang tekstil di Johor Bahru. Apakah dia memikirkan kurangnya anak Bumiputra berminat dalam lapangan teknikal atau kerana mula nampak bintangnya lebih mengerdip jika dia meninggalkan lapangan guru?

Yang ternyata sewaktu berada di Textile Corporation of Malaya Berhad Johor Bahru, dia telah dapat mengikuti latihan teknikal di Nagoya, Jepun selama enam bulan dalam tahun 1969. Di Jepun dia baru dapat melihat perbezaan zikap dan tingkah laku manusia pekerja Jepun dengan bangsanya sendiri. Setelah menimba pengalaman di Jepun, tercetus pula keinginannya untuk menulis rencana bersirinya di Utusan Malaysia, Utusan Zaman dan Mingguan Malaysia. Semuanya menceritakan pengalamannya di Jepun.

Kemampuan menulis telah meransangnya menapak ke bidang kerja yang lain. Dia menjadi Penyunting Berita Harian dalam tahun 1971. Semasa di New Straits Times Press (M) Bhd., dia banyak pula menghasilkan cerpen. Dia terus melanjutkan penulisan fiksyen apabila dilantik menjadi Penolong Editor dan kemudiannya meningkat sebagai Editor majalah Dewan Masyarakat.

Melihat kemampuannya menulis artikel dan cerpen di tengah-tengah kesibukannya sebagi seorang Editor, jelaslah kepada kita bahawa seorang editor yang sibuk tidak semestinya tidak boleh menulis. Pokoknya dia tidak mengenal erti kelelahan dan kesibukan bila dia diransang untuk menulis. ("Karyawan Bulan Ini", Dewan Sastera, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Mac 1983).